Kisah di sudut Bahnhof

…meine Damen und Herren jetzt erreichen wir Fulda. Dieser Zug endet hier. Bitte Fahrgäste alle aufsteigen!

“Ah! Sudah sampai rupanya,”  batinku. 

Perjalanan panjang yang kutempuh dari Hamburg menuju Fulda kali ini benar-benar menguras energi. Bergegas mengumpulkan kesadaran setelah cukup lama terlelap di kereta. Aku ambil mantel biruku lalu berjalan menuju pintu keluar. Kulihat orang-orang di gerbong bawah sudah antri di depan pintu keluar dengan sabar. Rapih dan teratur. Seperti biasa, ciri khas Jerman.

Stasiun Fulda selalu saja dingin. Mungkin bukan hanya stasiunnya, tapi kotanya pun selalu terasa lebih dingin jika dibandingkan dengan kota-kota lain disekitarnya. Mungkin dengan alasan itulah teman saya menjuluki kota ini dengan Siberianya Hessen. Entahlah!

Malam ini stasiun tampak ramai, ada yang sekedar mencari teman atau saudaranya yang sudah menunggu ketibaan mereka. Sebagian duduk santai dibangku-bangku dengan kopernya. Sementara beberapa kulihat berlari menemui kekasihnya dengan dengan segengam bunga plus pelukan. Iya, bukankah moment ketibaan selalu menjadi alasan unjuk kasih sayang?

Aku tak perduli dengan mereka. Aku hanya perduli dengan omelan perutku yang tak kunjung berhenti. Aku kelaparan. Memang salahku sendiri, aku tidak makan apa-apa sebelum perjalanan dimulai. Jam menunjukan pukul 19.40. Aku melangkah menuju tangga berjalan di sudut stasiun, mencari  toko roti yang biasa aku datangi. 

Rupanya toko roti langgananku masih buka. Beberapa orang kulihat sudah mengantri rapih. Aku berdiri mengikuti antrian, sambil melihat dari jauh roti yang ingin kubeli. Tak banyak pilihan, karena toko ini akan tutup dua puluh menit lagi. Beberapa pekerja pun sudah terlihat sibuk membersihkan sebagian peralatan.  Kurogoh dompetku. Sayang, tak ada uang yang bersisa, 70 cent saja!

****

“Selamat malam, silahkan…” sapa si penjual roti sembari tersenyum. 

“Malam. Berapa harga satu croissant?”  tanyaku sebelum membeli.

“Harganya 95 cent…” 

Sejenak aku melihat uang yang aku keluarkan tadi. Ternyata uangnya memang kurang 15 cent.

“Ah! Malam ini rupanya aku harus memasak!” 

“Terima kasih. Uang saya tidak cukup ternyata,” jawabku kepada si penjual roti dengan sedikit tersenyum.

Kutinggalkan toko roti itu, tapi sebelum pergi seseorang menghentikan langkahku.

“Tunggu sebentar. Biar saya saja yang membayar untuk junge Dame ini,” sahut seseorang kepada penjual roti yang baru saja melayaniku.

Suara itu yang menghentikan langkahku tak lain adalah suara perempuan Jerman paruh baya yang mengantri dibelakangku. 

“Tadi Anda mau beli croissant kan?” sekarang giliran dia bertanya padaku, setelah selesai berbicara dengan si penjual roti.

“Iya, memang saya mau beli. Tapi uang saya tidak cukup.”

“Silahkan ambil saja, biar saya yang bayar.” jawabnya dengan ramah.

Dengan perasaan haru akhirnya aku memutuskan untuk mengambil satu croissant. 

“Hanya satu? Diluar dingin loh! Ambil dua saja!” dengan sedikit tawa perempuan itu menjawab.

“Iya dua croissant untuk junge Dame ini, dan sekarang giliran saya ya,” tambahnya kepada si penjual.

Vielen lieben Dank. Terima kasih atas kebaikan anda! Saya tidak akan melupakannya. Ich wünsche Ihnen einen schönen Abend noch.” jawabku sambil menjabat tangannya seraya berpamitan.

Dengan perasaan haru dan senang, aku berjalan pulang. Iya, dengan sebungkus croissant di tangan dan beberapa keping cent yang sedari tadi kugengam. 

Ah, kebaikan memang berserakan dimana-mana. Dan hari ini aku melihatnya sendiri melalui perempuan Jerman berhati cantik itu.

Fulda, 27 Oktober 2013

Leave a comment