Kepergianku

Dalam sebuah pertemuan pasti ada perpisahan

Yang akan terjadi cepat atau lambat kepada siapapun

Iya, tentu saja ada air mata

Tentu juga ada semilir duka dan drama

Setiap rintik hujan yang kelabu pasti akan terganti dengan pelangi cerah

Semua akan terlewati, semua akan kembali baik baik saja

Kepergian adalah kata yang sakit untuk terucap

Namun sungguh ini bukan kepergian

Karena kita adalan insan yang  telah dewasa

bukankah dewasa berarti siap melepaskan dan merelakan?

bukankah dewasa juga siap menerima yang datang dan juga pergi?

Jangan ada benci apalagi caci

Jika memang lidah kita sama sama kelu untuk saling bertegur sapa,

Paling tidak sapalah aku dalam doamu.

Paling tidak berbincanglah denganku di hamparan sajadahmu

Iya kita masih bisa saling membahagiakan bukan?

Walaupun dalam sejauh pandangan

Memang, semua tak lagi sama tapi percayalah

Ini yang terbaik untuk kita

 

 

Frankfurt, 17. 12. 2014

 

Gadis Kecil yang Kebingungan

Karena ayah adalah sebaik-baiknya tempat bertanya bagi gadis kecilnya…

“Aku tak tahu lagi harus bagaimana. Semua ilmu-ilmu yang aku pelajari nyatanya tak bisa memberi jawaban….”  gerutu Tiara dengan nada suara kebingungan.

Tiara, seorang dokter lulusan salah satu universitas ternama di Jerman itu, nyatanya tetap tak bisa memberikan tindakan sigap untuk dirinya sendiri. Padahal dengan pengalamannya di unit gawat darurat di Klinikum selama beberapa tahun belakangan ini, memberi penanganan cepat kepada pasien-pasiennya bukanlah sesuatu yang asing lagi baginya. Mungkin memang betul adanya, sehebat apapun profesi kita, tidak ada yang benar-benar berguna jika sudah dihadapkan dengan perasaan sendiri.

Tiara, wanita berumur 30 tahun ini, nyatanya tetaplah menjadi seorang gadis kecil yang tak mengerti apa-apa, tak mengerti tentang perasaannya sendiri. Kepada ibunya ia biasa berkeluh kesah, mengutarakan segala kisahnya selama tinggal di Jerman. Namun kali ini Tiara kebingungan, kebingungan memilih satu diantara beberapa lelaki yang datang, meminta untuk menjadi teman hidupnya. Bukan perkara mudah memang menjatuhkan pilihan pada seseorang, karena ketika sudah menjatuhkan keputusan maka secara otomatis ia harus terikat dalam komitmen abadi bernama pernikahan. Dan itu yang Tiara khawatirkan, menjatuhkan pilihan pada orang yang salah.

“Nak, mengapa tak kau tanyakan saja kepada Bapak tentang hal ini? Mungkin kau akan melihat dari sudut pandang yang berbeda.” begitu jawab sang Ibu, berusaha menenangkan anaknya diseberang telefon.

“Bapak?? Tahu apa Bapak tentang anak perempuannya ini?”

Sudah lama Tiara tidak berbincang dengan lelaki yang ia panggil Bapak ini. Memang ia tidak begitu dekat dengan Bapaknya. Bagi Tiara, Bapak hanyalah sosok lelaki pemberi nafkah, tidak lebih. Sosok lelaki  yang lebih mencintai pekerjaannya dibanding diri dan ibunya. Tiara kecil tumbuh tanpa peran berarti dari Bapaknya, yang memang tak punya banyak waktu untuk keluarganya. Melihat bagaimana tegar dan sabar sang  ibu yang sedari kecil lebih memberi andil besar dalam hidupnya, merawat dan membesarkannya  itulah yang membuat Tiara sulit menjatuhkan piliah pada setiap laki-laki yang mencoba mendekatinya.

“Bapakmu pernah muda Nak, Bapakmu pernah tahu bagaimana laki-laki baik dan buruk itu memilih perempuan. Paling tidak itulah yang Ibu lihat ketika bapak memilih Ibu, diantara banyaknya pilihan disekitarnya kala itu.” jawab sang Ibu.

“Lantas apa yang membuat Bapak memilih Ibu?” 

“Ibu juga tidak tahu Nak, laki-laki lebih mengetahuinya. Sekarang bertanyalah pada Bapakmu. Karena baginya, kau tetaplah gadis kecilnya. Gadis kecilnya yang paling berharga, yang tidak bisa dipinta oleh sembarang orang.” 

 Fulda, 19 Januari 2014

Rasa dalam Secangkir Kopi

Mari kita duduk sejenak. Mari kita duduk di sudut cafe itu, berbincang tentang kopi yang akan kita pesan malam ini. Kau bilang, kau suka kopi kan?

Bagaimana jika kopi yang kita pesan kali ini terbuat dari sesendok kata-kata? Kata-kata masa depan, kehidupan, dan cita-cita yang ingin kita tuju bersama.

Iya, aku tahu kau tak pernah menambahkan apapun dalam kopi yang kau minum. Akupun tak tahu rasanya seperti apa. Mungkin akan terasa pahit dan juga manis. Tapi percayalah, aku tak akan membiarkanmu meminumnya sendiri.

Fulda, 19 Januari 2014

 

Kisah di sudut Bahnhof

…meine Damen und Herren jetzt erreichen wir Fulda. Dieser Zug endet hier. Bitte Fahrgäste alle aufsteigen!

“Ah! Sudah sampai rupanya,”  batinku. 

Perjalanan panjang yang kutempuh dari Hamburg menuju Fulda kali ini benar-benar menguras energi. Bergegas mengumpulkan kesadaran setelah cukup lama terlelap di kereta. Aku ambil mantel biruku lalu berjalan menuju pintu keluar. Kulihat orang-orang di gerbong bawah sudah antri di depan pintu keluar dengan sabar. Rapih dan teratur. Seperti biasa, ciri khas Jerman.

Stasiun Fulda selalu saja dingin. Mungkin bukan hanya stasiunnya, tapi kotanya pun selalu terasa lebih dingin jika dibandingkan dengan kota-kota lain disekitarnya. Mungkin dengan alasan itulah teman saya menjuluki kota ini dengan Siberianya Hessen. Entahlah!

Malam ini stasiun tampak ramai, ada yang sekedar mencari teman atau saudaranya yang sudah menunggu ketibaan mereka. Sebagian duduk santai dibangku-bangku dengan kopernya. Sementara beberapa kulihat berlari menemui kekasihnya dengan dengan segengam bunga plus pelukan. Iya, bukankah moment ketibaan selalu menjadi alasan unjuk kasih sayang?

Aku tak perduli dengan mereka. Aku hanya perduli dengan omelan perutku yang tak kunjung berhenti. Aku kelaparan. Memang salahku sendiri, aku tidak makan apa-apa sebelum perjalanan dimulai. Jam menunjukan pukul 19.40. Aku melangkah menuju tangga berjalan di sudut stasiun, mencari  toko roti yang biasa aku datangi. 

Rupanya toko roti langgananku masih buka. Beberapa orang kulihat sudah mengantri rapih. Aku berdiri mengikuti antrian, sambil melihat dari jauh roti yang ingin kubeli. Tak banyak pilihan, karena toko ini akan tutup dua puluh menit lagi. Beberapa pekerja pun sudah terlihat sibuk membersihkan sebagian peralatan.  Kurogoh dompetku. Sayang, tak ada uang yang bersisa, 70 cent saja!

****

“Selamat malam, silahkan…” sapa si penjual roti sembari tersenyum. 

“Malam. Berapa harga satu croissant?”  tanyaku sebelum membeli.

“Harganya 95 cent…” 

Sejenak aku melihat uang yang aku keluarkan tadi. Ternyata uangnya memang kurang 15 cent.

“Ah! Malam ini rupanya aku harus memasak!” 

“Terima kasih. Uang saya tidak cukup ternyata,” jawabku kepada si penjual roti dengan sedikit tersenyum.

Kutinggalkan toko roti itu, tapi sebelum pergi seseorang menghentikan langkahku.

“Tunggu sebentar. Biar saya saja yang membayar untuk junge Dame ini,” sahut seseorang kepada penjual roti yang baru saja melayaniku.

Suara itu yang menghentikan langkahku tak lain adalah suara perempuan Jerman paruh baya yang mengantri dibelakangku. 

“Tadi Anda mau beli croissant kan?” sekarang giliran dia bertanya padaku, setelah selesai berbicara dengan si penjual roti.

“Iya, memang saya mau beli. Tapi uang saya tidak cukup.”

“Silahkan ambil saja, biar saya yang bayar.” jawabnya dengan ramah.

Dengan perasaan haru akhirnya aku memutuskan untuk mengambil satu croissant. 

“Hanya satu? Diluar dingin loh! Ambil dua saja!” dengan sedikit tawa perempuan itu menjawab.

“Iya dua croissant untuk junge Dame ini, dan sekarang giliran saya ya,” tambahnya kepada si penjual.

Vielen lieben Dank. Terima kasih atas kebaikan anda! Saya tidak akan melupakannya. Ich wünsche Ihnen einen schönen Abend noch.” jawabku sambil menjabat tangannya seraya berpamitan.

Dengan perasaan haru dan senang, aku berjalan pulang. Iya, dengan sebungkus croissant di tangan dan beberapa keping cent yang sedari tadi kugengam. 

Ah, kebaikan memang berserakan dimana-mana. Dan hari ini aku melihatnya sendiri melalui perempuan Jerman berhati cantik itu.

Fulda, 27 Oktober 2013